Ah,
mengapa harus aku? Adakah kamu sedang berpikir demikian
lantaran tanda merah ketika membuka pengumuman dari universitas yang dituju. Percayalah,
bukan hanya kamu yang merasakannya.
Lantas kamu lalu membuka sosial mediamu,
mencoba menumpahkan semua sedihmu, kesalmu, marahmu, bingungmu, takutmu yang
mungkin baru kali ini kau rasakan. Tetapi kemudian kenyataan yang didapatkan
justru berbeda. Kamu melihat banyak sekali teman-teman seperjuanganmu yang kamu
kenal maupun tidak membagikan momen bahagainya karena mendapatkan tanda hijau
pada pengumuman mereka.
Ah,
mengapa aku tidak seberuntung dia? Pikiranmu dan bibirmu
melantunkan hal yang senada. Percayalah, bukan hanya yang melakukannya.
Kamu bingung harus melakukan apa? Pikiranmu
menimbulkan banyak tanya? Bagaimana cara memberitahu kepada orang tuamu tentang
pengumuman ini? Bagaimana dengan harapan orang tuamu? Bagaimana dengan
mimpi-mimpi yang telah kamu rencanakan selama ini? Bagaimana, bagaimana,
bagaimana. Dan pikiranmu kalut, hatimu rasanya sakit dan nafasmu terasa berat.
Perlahan pikiranmu melayang, ingatan
masa lalu kembali datang. Pikiranmu kalut. Tak karuan. Terhanyut dalam
kesesalan, kemarahan, kepedihan, kebencian kepada dirimu sendiri, kepada pilhanmu
di masa lalu, kepada apa yang terjadi di masa lalu, kepada penolakan nasihat,
kepada semuanya. Lalu terjebak dalam rasa “Seandainya
…”.
Hatimu terasa sakit. Bak ditusuk-tusuk. Disayat-sayat.
Teramat sakit. Rasanya tak terbendung lagi air mata, kamu menangis. Kamu bersedih.
Kamu menyendiri. Kamu ingin sepi. Kamu ingin lari. Kamu ingin menjerit. Kamu ingin
marah. Mengapa harus sesakit ini?
Nafasmu perlahan terasa berat. Tambah berat.
Sangat berat. Sulit rasanya bernafas. Entah mengapa hidungmu terasa tidak mampu
menghirup udara, mulut membuka tapi tidak juga menghirup udara. Hanya tangis
yang mampu kamu lakukan. Maka, menangislah. Barangkali kamu sudah lama tidak
menangis.
Kamu teruslah menangis. Sembari menangis,
buanglah semua kesal, marah, benci, bingung, takut. Buanglah semuanya bersama
tangismu. Berikan waktu kepada dirimu menyendiri. Luapkan semuanya, tapi jangan
berkata apa-apa dan jangan kutuk dirimu. Cukup buang dan luapkan semuanya dalam
tangis.
Kurangi dulu interaksi dengan
orang-orang yang kamu sayangi. Pikiranmu sedang kalut. Karena kamu tidak tahu
apa yang akan terjadi ke depannya. Bisa saja, mulutmu dengan mudahnya
mengucapkan kata-kata yang dapat menyakiti hati mereka, membantah mereka,
menghardik meraka, padahal kamu tidak berniat melakukannya. Berbaurlah dengan
mereka jika hatimu sedang baik, dan menepilah jika pikiran kalutmu kembali
menghantui.
Tapi jangan juga larut dalam kesendirian,
larut dalam kesedihan. Itu tidak baik. Dalam setiap kesendirian dan
kesedihanmu, tanyakan pada diri, “Hei,
akan sampai seperti ini?”. Sembari meluapkan, sembali menanyakan ini. Jika kamu
mampu, dalam setiap ingatan masa lalumu, koreksilah dirimu, maafkan dirimu,
ikhlaskan semuanya dan berniatlah untuk memperbaikinya. Percayalah, itu akan
membuatmu merasa tenang dan hidup kembali.
Memang itu tidak mudah. Tapi juga tidak
susah. Semua tergantung kepada kamu menyikapinya. Semua tergantung kamu
merasakannya. Toh, pikirmu menentukan semuanya. Tapi percayalah, Tuhan tidak
akan memberi ujian di luar batas kemampuan hambanya. Sesulit apapun rasanya,
solusinya ada pada kita. Dan percayalah “banyak
jalan menuju Mekah”.
Dan jika kamu masih larut kesedihan,
kemarahan, kebencian, kebingungan, ketakutan. Jangan Lebay. Lihatlah, di luar sana, banyak yang usahanya, upayanya,
ikhtiarnya, doanya jauh melampaui semuanya yang telah kamu lakukan lakukan. Toh,
mereka juga gagal. Tapi kadang anehnya, mereka masih berpikir bahwa yang
dilakukannnya masih kurang. Lalu dia kembali memulai semuanya. Memulai dari
keberhasilan yang tertunda.
Comments
Post a Comment
Silakan berkomentar secara bijak dan cermat