Aku Belum Lulus Untukmu, Kampus!


Ah, mengapa harus aku? Adakah kamu sedang berpikir demikian lantaran tanda merah ketika membuka pengumuman dari universitas yang dituju. Percayalah, bukan hanya kamu yang merasakannya.

Lantas kamu lalu membuka sosial mediamu, mencoba menumpahkan semua sedihmu, kesalmu, marahmu, bingungmu, takutmu yang mungkin baru kali ini kau rasakan. Tetapi kemudian kenyataan yang didapatkan justru berbeda. Kamu melihat banyak sekali teman-teman seperjuanganmu yang kamu kenal maupun tidak membagikan momen bahagainya karena mendapatkan tanda hijau pada pengumuman mereka.


Ah, mengapa aku tidak seberuntung dia? Pikiranmu dan bibirmu melantunkan hal yang senada. Percayalah, bukan hanya yang melakukannya.

Kamu bingung harus melakukan apa? Pikiranmu menimbulkan banyak tanya? Bagaimana cara memberitahu kepada orang tuamu tentang pengumuman ini? Bagaimana dengan harapan orang tuamu? Bagaimana dengan mimpi-mimpi yang telah kamu rencanakan selama ini? Bagaimana, bagaimana, bagaimana. Dan pikiranmu kalut, hatimu rasanya sakit dan nafasmu terasa berat.

Perlahan pikiranmu melayang, ingatan masa lalu kembali datang. Pikiranmu kalut. Tak karuan. Terhanyut dalam kesesalan, kemarahan, kepedihan, kebencian kepada dirimu sendiri, kepada pilhanmu di masa lalu, kepada apa yang terjadi di masa lalu, kepada penolakan nasihat, kepada semuanya. Lalu terjebak dalam rasa “Seandainya …”.

Hatimu terasa sakit. Bak ditusuk-tusuk. Disayat-sayat. Teramat sakit. Rasanya tak terbendung lagi air mata, kamu menangis. Kamu bersedih. Kamu menyendiri. Kamu ingin sepi. Kamu ingin lari. Kamu ingin menjerit. Kamu ingin marah. Mengapa harus sesakit ini?

Nafasmu perlahan terasa berat. Tambah berat. Sangat berat. Sulit rasanya bernafas. Entah mengapa hidungmu terasa tidak mampu menghirup udara, mulut membuka tapi tidak juga menghirup udara. Hanya tangis yang mampu kamu lakukan. Maka, menangislah. Barangkali kamu sudah lama tidak menangis.

Kamu teruslah menangis. Sembari menangis, buanglah semua kesal, marah, benci, bingung, takut. Buanglah semuanya bersama tangismu. Berikan waktu kepada dirimu menyendiri. Luapkan semuanya, tapi jangan berkata apa-apa dan jangan kutuk dirimu. Cukup buang dan luapkan semuanya dalam tangis.

Kurangi dulu interaksi dengan orang-orang yang kamu sayangi. Pikiranmu sedang kalut. Karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Bisa saja, mulutmu dengan mudahnya mengucapkan kata-kata yang dapat menyakiti hati mereka, membantah mereka, menghardik meraka, padahal kamu tidak berniat melakukannya. Berbaurlah dengan mereka jika hatimu sedang baik, dan menepilah jika pikiran kalutmu kembali menghantui.

Tapi jangan juga larut dalam kesendirian, larut dalam kesedihan. Itu tidak baik. Dalam setiap kesendirian dan kesedihanmu, tanyakan pada diri, “Hei, akan sampai seperti ini?”. Sembari meluapkan, sembali menanyakan ini. Jika kamu mampu, dalam setiap ingatan masa lalumu, koreksilah dirimu, maafkan dirimu, ikhlaskan semuanya dan berniatlah untuk memperbaikinya. Percayalah, itu akan membuatmu merasa tenang dan hidup kembali.

Memang itu tidak mudah. Tapi juga tidak susah. Semua tergantung kepada kamu menyikapinya. Semua tergantung kamu merasakannya. Toh, pikirmu menentukan semuanya. Tapi percayalah, Tuhan tidak akan memberi ujian di luar batas kemampuan hambanya. Sesulit apapun rasanya, solusinya ada pada kita. Dan percayalah “banyak jalan menuju Mekah”.

Dan jika kamu masih larut kesedihan, kemarahan, kebencian, kebingungan, ketakutan. Jangan Lebay. Lihatlah, di luar sana, banyak yang usahanya, upayanya, ikhtiarnya, doanya jauh melampaui semuanya yang telah kamu lakukan lakukan. Toh, mereka juga gagal. Tapi kadang anehnya, mereka masih berpikir bahwa yang dilakukannnya masih kurang. Lalu dia kembali memulai semuanya. Memulai dari keberhasilan yang tertunda.

KAMU. YAKIN SUDAH MAKSIMAL?!


Comments